Tanggal 12 Juni diperingati dunia sebagai Hari Anti Pekerja Anak se-Dunia. Lembaga PBB yang terkait erat dengan tema anti pekerja anak adalah ILO (International Labour Organization) dan UNESCO. Pada peringatan tahun ini, Direktur Jenderal UNESCO Koichiro Matsuura mengatakan saat ini ada 75 juta anak di dunia yang diabaikan haknya untuk menikmati pendidikan, di mana 55 juta di antaranya adalah anak perempuan. Sementara data ILO menyebutkan saat ini terdapat 218 juta anak usia 5-17 tahun yang dikategorikan sebagai pekerja.Ironisnya, tidak banyak orang Indonesia yang tahu bahwa anak-anak berusia 5-17 tahun dilarang bekerja. Di kota-kota besar, dengan mudah kita dapat menemukan anak-anak dengan usia tersebut di jalan raya, baik sebagai penjaja koran, penjual asongan maupun sebagai pengamen di setiap perempatan jalan. Mungkin mereka tidak dapat dikategorikan sebagai pekerja anak, tetapi kepedulian masyarakat kota terhadap mereka sangat minim akan terabaikannya hak anak-anak itu untuk menikmati pendidikan.Menurut Alan Boulton, Direktur ILO Jakarta di Indonesia terdapat sekurang-kurangnya 25% dari jumlah pekerja rumah tangga berusia di bawah 15 tahun. Ia mengkhawatirkan jumlah pekerja anak di Indonesia akan terus bertambah karena didorong oleh kondisi krisis keuangan global, khususnya terjadi pada anak perempuan.
Anak jalanan, agaknya masih menjadi salah satu problem klasik negara-negara berkembang, termasuk di negara kita. Kehadiran mereka di sudut-sudut kota yang pengap dan kumuh bisa jadi sangat erat kaitannya dengan jeratan kemiskinan yang menelikung orang tuanya. Masih jutaan keluarga di negeri ini yang hidup di bawah standar kelayakan. Untuk menyambung hidup, mereka dengan sengaja mempekerjakan anak-anak untuk berkompetisi di tengah pertarungan masyarakat urban yang terkesan liar dan kejam. Kekerasan demi kekerasan seperti mata rantai yang menempa sekaligus menggilas anak-anak miskin hingga akhirnya mereka tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang terbelah. Tentu saja, kita tidak bisa bersikap apriori dengan mengatakan, “Salahnya sendiri, kenapa miskin?” Hmmm … kalau saja mereka punya pilihan untuk dilahirkan, sudah pasti tak ada seorang pun anak manusia yang ingin lahir dan besar di tengah-tengah deraan kemiskinan orang tuanya.
Kondisi itu diperparah dengan sikap negara yang belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan memadai buat mereka. Melalui tangan-tangan aparatnya, anak-anak jalanan justru digaruk dan dihinakan di atas mobil bak terbuka; diarak dan dipertontonkan kepada publik. Sungguh, sebuah perlakuan purba yang jauh dari nilai-nilai kesantunan masyarakat beradab.
Pertanyaannya, siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap anak-anak itu? Kendati pasal 34 UUD ‘45 diterangkan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar diasuh oleh negara” serta pasal 28 C yg menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan uman manusia, setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya” namun urusan kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab bersama. Sebagai bangsa yang terus bergerak maju, kita optimis, perbaikan atas kondisi sosial ini juga semakin maju. Peran serta masyarakat melalui program anak asuh, melalui lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM), melalui panti-panti asuhan di satu sisi, dan peran pemerintah melalui program sekolah gratis di sisi lain, akan memacu tercapainya penanganan terhadap anak-anak terlantar di negeri ini.
Prioritas penanganan barangkali harus dimulai dari kota-kota besar. Dengan cara antara lain menggalakkan kesadaran masyarakat kota untuk tidak lagi mempekerjakan para wanita di bawah usia 17 tahun entah sebagai PRT, baby sitter, pelayan kafe, pekerja pabrik, atau di tempat kerja manapun. Mendorong Pemerinah dan lembaga-lembaga sosial lainnya untuk membangun sebanyak mungkin panti, asrama atau apapun namanya agar anak-anak terlantar yang setiap hari berkeliaran di jalanan dapat ditampung dan diurusi sekolahnya melalui program sekolah gratis. Siapa tahu, 10 atau 20 tahun ke depan muncul seseorang dari antara mereka menjadi capres atau cawapres.
Bagaimana solusinya??
Salah satu solusinya mungkin adanya Hari Anak Nasional (HAN) yang jatuh pada tanggal 23 Juli. Momentum seperti ini seharusnya bisa dijadikan sebagai bahan refleksi terhadap silang-sengkarutnya dunia anak yang terkebiri dan termarginalkan. Tetapi walaupun sudah ada peraturan yang mengatur serta hari anak nasional ini,tetap saja harus didahului dari kesadaran diri untuk lebih memperhatikan nasib para penerus bangsa.
Kini, ketika momentum HAN itu tiba, tak jugakah kita tergerak untuk menjadikan anak-anak jalanan sebagai generasi masa depan yang punya hak untuk hidup secara layak di bumi yang konon “gemah ripah loh jinawi” ini? Sudah tak ada ruangkah bagi mereka untuk bersemayam di dalam rongga hati kita hingga akhirnya mereka benar-benar harus kehilangan masa depan?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar