Pasal 28 D

Pada pasal 28 D menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Nah, sekarang yang menjadi pertanyaan besar adalah “Bagaimana keadilan dapat ditegakan jika didalam peradilan itu sendiri masih terjadi kasus-kasus yang mencoreng nama baik hukum..??!!”.Contohnya adalah kasus berikut.
Kasus Mafia peradilan di Indonesia sudah sangat sistemik. Menguasai sendi-sendi lembaga penegak hukum, yang selama ini menjadi tumpuan rakyat untuk mendapatkan keadilan. Faktanya, justru lembaga penegak hukum itu, sudah bengkok oleh praktik-praktif mafia peradilan. Inilah yang menyebabkan berbagai paradok, seperti belum lama ini, si Minah, yang mengambil dua buah kakao, dihukum 1,5 bulan penjara oleh pengadilan, sementara Anggodo Widjojo, tak tersentuh oleh siapapun.
Awalnya, yang namanya mafia peradilan, ibaratnya seperti ‘kentut’ (maaf), bau busuknya menyengat, tapi rakyat tidak dapat melihat wujudnya. Pengaruhnya di mana-mana, tapi rakyat tidak dapat melihat sosok dari mafia peradilan. Mereka bukan saja dapat mempengaruhi keputusan pengadilan, tetapi mereka juga dapat ‘melipat’ para aparat penegak hukum. Anehnya, sebenarnya tak banyak uang yang ‘disodorkan’ kepada aparat penegak hukum, bila dibandingkan dengan tingkat kerugian negara.
Setinggi-tingginya uang yang diberikan kepada aparat penegak hukum jumlahnya hanya milyaran rupiah. Seperti pengakuan Ary Muladi, yang mendapat uang dari Anggodo, yang nilainya hanya Rp 5, 1 milyar, yang akan digunakan untuk ‘memoles’ aparat penegak hukum. Tidak sepadan bila dibandingkan dengan tingkat kerugian negara, yang jumlah bisa mencapai ratusan milyar, bahkan bisa mencapai triliun rupiah. Kasusnya bukan hanya berkaitan dengan Bank Century saja, tapi kasus-kasus lainnya yang lebih besar, termasuk BLBI, yang jumlah kerugian negara mencapai ratusan triliun rupiah, dan kasusnya kini sudah terkubur, dan tidak akan pernah diangkat lagi.
Mafia peradilan ini sudah sangat sistemik, dan menguasai kehidupan, dan setiap usaha ingin menghilangkannya, pasti akan gagal. Sekarang Presiden SBY mempunyai komitmen ingin memberantas mafia peradilan. Dapatkah langkah-langkah Presiden nanti terwujud? Karena, para mafia itu, tak lain juga terkait dengan kekuasaan lainnya, yang mempunyai kepentingan yang lebih luas, yaitu kalangan ‘pengusaha’ (hitam) sebagai pemilik modal, yang mereka dalam bisnisnya menggunakan praktik-praktik yang tidak sehat, yang menimbulkan kerugian negara. Mereka menggunakan para mafia peradilan, yang kemudian menyogok para penegak hukum, yang tujuannya mempengaruhi keputusan pengadilan.
Para penegak hukum bukan hanya menghadapi para mafia, tetapi terkadang bila kasus pelanggaran hukum itu, sudah berkait dengan kekuasaan, menjadi rumit dan sangat sulit, dan menghabiskan energi, termasuk tidak pernah dapat diselesaikan dengan pendekatan hukum semata-mata. Tentu, contoh yang paling mutakhir, yaitu kasus Anggodo Widjojo, yang terang-terangan berani menyebut nama Presiden dalam percakapannya, tapi sampai sekarang tidak dapat disentuh, apakah itu ditangkap atau ditahan, dan polisi mengatakan tidak ada dasar yang dapat dijadikan alasan menangkap Anggodo.

Read  Comments


Pasal 28 C

Tanggal 12 Juni diperingati dunia sebagai Hari Anti Pekerja Anak se-Dunia. Lembaga PBB yang terkait erat dengan tema anti pekerja anak adalah ILO (International Labour Organization) dan UNESCO. Pada peringatan tahun ini, Direktur Jenderal UNESCO Koichiro Matsuura mengatakan saat ini ada 75 juta anak di dunia yang diabaikan haknya untuk menikmati pendidikan, di mana 55 juta di antaranya adalah anak perempuan. Sementara data ILO menyebutkan saat ini terdapat 218 juta anak usia 5-17 tahun yang dikategorikan sebagai pekerja.Ironisnya, tidak banyak orang Indonesia yang tahu bahwa anak-anak berusia 5-17 tahun dilarang bekerja. Di kota-kota besar, dengan mudah kita dapat menemukan anak-anak dengan usia tersebut di jalan raya, baik sebagai penjaja koran, penjual asongan maupun sebagai pengamen di setiap perempatan jalan. Mungkin mereka tidak dapat dikategorikan sebagai pekerja anak, tetapi kepedulian masyarakat kota terhadap mereka sangat minim akan terabaikannya hak anak-anak itu untuk menikmati pendidikan.Menurut Alan Boulton, Direktur ILO Jakarta di Indonesia terdapat sekurang-kurangnya 25% dari jumlah pekerja rumah tangga berusia di bawah 15 tahun. Ia mengkhawatirkan jumlah pekerja anak di Indonesia akan terus bertambah karena didorong oleh kondisi krisis keuangan global, khususnya terjadi pada anak perempuan.
Anak jalanan, agaknya masih menjadi salah satu problem klasik negara-negara berkembang, termasuk di negara kita. Kehadiran mereka di sudut-sudut kota yang pengap dan kumuh bisa jadi sangat erat kaitannya dengan jeratan kemiskinan yang menelikung orang tuanya. Masih jutaan keluarga di negeri ini yang hidup di bawah standar kelayakan. Untuk menyambung hidup, mereka dengan sengaja mempekerjakan anak-anak untuk berkompetisi di tengah pertarungan masyarakat urban yang terkesan liar dan kejam. Kekerasan demi kekerasan seperti mata rantai yang menempa sekaligus menggilas anak-anak miskin hingga akhirnya mereka tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang terbelah. Tentu saja, kita tidak bisa bersikap apriori dengan mengatakan, “Salahnya sendiri, kenapa miskin?” Hmmm … kalau saja mereka punya pilihan untuk dilahirkan, sudah pasti tak ada seorang pun anak manusia yang ingin lahir dan besar di tengah-tengah deraan kemiskinan orang tuanya.
Kondisi itu diperparah dengan sikap negara yang belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan memadai buat mereka. Melalui tangan-tangan aparatnya, anak-anak jalanan justru digaruk dan dihinakan di atas mobil bak terbuka; diarak dan dipertontonkan kepada publik. Sungguh, sebuah perlakuan purba yang jauh dari nilai-nilai kesantunan masyarakat beradab.
Pertanyaannya, siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap anak-anak itu? Kendati pasal 34 UUD ‘45 diterangkan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar diasuh oleh negara” serta pasal 28 C yg menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan uman manusia, setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya” namun urusan kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab bersama. Sebagai bangsa yang terus bergerak maju, kita optimis, perbaikan atas kondisi sosial ini juga semakin maju. Peran serta masyarakat melalui program anak asuh, melalui lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM), melalui panti-panti asuhan di satu sisi, dan peran pemerintah melalui program sekolah gratis di sisi lain, akan memacu tercapainya penanganan terhadap anak-anak terlantar di negeri ini.
Prioritas penanganan barangkali harus dimulai dari kota-kota besar. Dengan cara antara lain menggalakkan kesadaran masyarakat kota untuk tidak lagi mempekerjakan para wanita di bawah usia 17 tahun entah sebagai PRT, baby sitter, pelayan kafe, pekerja pabrik, atau di tempat kerja manapun. Mendorong Pemerinah dan lembaga-lembaga sosial lainnya untuk membangun sebanyak mungkin panti, asrama atau apapun namanya agar anak-anak terlantar yang setiap hari berkeliaran di jalanan dapat ditampung dan diurusi sekolahnya melalui program sekolah gratis. Siapa tahu, 10 atau 20 tahun ke depan muncul seseorang dari antara mereka menjadi capres atau cawapres.
Bagaimana solusinya??
Salah satu solusinya mungkin adanya Hari Anak Nasional (HAN) yang jatuh pada tanggal 23 Juli. Momentum seperti ini seharusnya bisa dijadikan sebagai bahan refleksi terhadap silang-sengkarutnya dunia anak yang terkebiri dan termarginalkan. Tetapi walaupun sudah ada peraturan yang mengatur serta hari anak nasional ini,tetap saja harus didahului dari kesadaran diri untuk lebih memperhatikan nasib para penerus bangsa.
Kini, ketika momentum HAN itu tiba, tak jugakah kita tergerak untuk menjadikan anak-anak jalanan sebagai generasi masa depan yang punya hak untuk hidup secara layak di bumi yang konon “gemah ripah loh jinawi” ini? Sudah tak ada ruangkah bagi mereka untuk bersemayam di dalam rongga hati kita hingga akhirnya mereka benar-benar harus kehilangan masa depan?

Read  Comments


Pasal 28 B

Dalam pasal ini disebutkan bahwa “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Di Indonesia memang maslah pernikahan telah diatur dengan kuat dalam UUD, tetapi tidak sedikit masyarakat awam yang salah menafsirkan maksud dari pasal tsb. Ada beberapa kata yang harus digaris bawahi yaitu hak untuk berkeluarga melalui perkawinan yang sah.Dewasa ini , dalam kehidupan masyarakat sering kita mendengar tentang istilah nikah siri. Sebagian orang berpendapat bahwa pernikahan siri itu sah. Ya, memang pernikahan siri itu sah tetapi hanya sah didalam hukum agama yaitu Islam. Karena bagi orang yang melakukan nikah siri tidak akan mendapat pengakuan dari hukum. Selain itu, pernikahan siri juga hanya merugikan kaum perempuan dan anak. Karena tidak ada hukum pidana yang dapat melindungi mereka dari ketidakadilan. Di dalam masyarakat juga berkembang masalah RUU Nikah Siri. Isi RUU Nikah siri, menjadikan salah satu permasalahan tersendiri di kalangan masyarakat, banyak pro dan kontra yang terjadi setelah adanya wacana RUU Nikah Siri atau Rancangan Undang-Undang Hukum Materil oleh Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang akan memidanakan pernikahan tanpa dukeman resmi atau yang biasa disebut sebagai nikah siri,kemungkianan untuk menolak andaya poligami dan melindungi hak perempuan akan tetapi ada pihak yang menolak RUU ini dikarenakan adanya maksud tersembuyi untuk melegalakan Free sex dan kehidupan seks bebas, seperti halnya Seperti halnya Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi menilai pemidanaan nikah siri yang diatur dalam Draf RUU Nikah Siri merupakan tindakan yang tidak benar.
Saya kira ini tidak benar.Nikah siri cukup diadministrasikan saja. Harusnya yang lebih dulu dipidanakan itu yang tidak nikah (berhubungan seks di luar nikah).Saya yakin ini ada agenda tersembunyi untuk melegalkan yang melakukan seks bebas (free sex) dan menyalahkan yang nikah,"
Pada dasarnya RUU ini dibuat untuk melindungi para kaum perempuan & anak-anak. Karena dengan melakukan nikah siri mereka tidak memiliki status sosial yang jelas dalam masyarakat.Walaupun sebenarnya RUU ini harus dikaji ulang dalam masalh hukuman bagi orang yang melakukan pernikahan siri.

Read  Comments